Halaman

Kamis, 19 Juli 2012

MA’RIFATULLAH


A. MAKNA MA’RIFATULLAH
Ma’rifatullah berasal dari kala ma’rifah dan Allah. Ma’rifah berarti mengetahui, mengenal. Mengenal Allah bukan melalui zat Allah tetapi mengenal-Nya lewat tanda-tanda kebesaranNya (ayat-ayatNya).
Mungkin ada di kalangan kaum muslimin yang bertanya kenapa pada saat ini kita masih perlu berbicara tentang Allah padahal kita sudah sering mendengar dan menyebut namaNya, dan kita tahu bahwa Allah itu Tuhan kita. Tidakkah itu sudah cukup untuk kita?
Tidak. Jangan sekali-kali kita merasa cukup dengan pemahaman dan pengenalan kita terhadap Allah. Karena, semakin memahami dan mengenaliNya kita merasa semakin dekat denganNya. Selain itu, dengan pengenalan yang lebih dalam lagi, kita bisa terhindar dari pemahaman-pemahaman yang keliru tentang Allah dan kita terhindar dari sikap-sikap yang salah terhadap Allah.
Ketika kita membicarakan makrifatullah, maknanya kita berbicara tentang Rabb, Malik, dan Ilah kita. Rabb yang kita pahami dari istilah Al-Qur’an adalah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa. Kata Ilah mengandung arti yang dicintai, yang ditakuti, dan juga sebagai sumber pengharapan. Makna seperti ini ada di dalam surat An-Naas (114): 1-3.
Dengan demikian jelaslah bahwa usaha kita untuk lebih jauh memahami dan mengenal Allah adalah bagian terpenting di dalam hidup ini. Lantas, bagaimana metoda yang harus kita tempuh untuk bisa mengenal Allah? Apa saja halangan yang senantiasa menghantui manusia dari mengenalNya? Benarkan kalimat yang mengatakan, “Kenalilah dirimu niscaya engkau akan mengenali Tuhanmu.” Dari pengenalan diri sendiri, maka ia akan membawa kepada pengenalan (makrifah) yang menciptakan diri, yaitu Allah. Ini adalah karena pada hakikatnya makrifah kepada Allah adalah sebenar-benar makrifah dan merupakan asas segala kehidupan rohani.
Setelah makrifah kepada Allah, akan membawa kita kepada makrifah kepada Nabi dan Rasul, makrifah kepada alam nyata dan alam ghaib dan makrifah kepada alam akhirat.
Keyakinan terhadap Allah swt. menjadi mantap apabila kita mempunyai dalil-dalil dan bukti yang jelas tentang kewujudan (eksistensi) Allah lantas melahirkan pengesaan dalam mentauhidkan Allah secara mutlak. Pengabdian diri kita hanya semata-mata kepada Allah saja. Ini memberi arti kita menolak dan berusaha menghindarkan diri dari bahaya-bahaya disebabkan oleh syirik kepadaNya.
Kita harus berusaha menempatkan kehidupan kita di bawah bayangan tauhid dengan cara kita memahami ruang perbahasan dalam tauhid dengan benar tanpa penyelewengan sesuai dengan manhaj salafush shalih. Kita juga harus memahami empat bentuk tauhidullah yang menjadi misi ajaran Islam di dalam Al-Qur’an maupun sunnah, yaitu tauhid asma wa sifat, tauhid rububiah, tauhid mulkiyah, dan tauhid uluhiyah. Dengan pemahaman ini kita akan termotivasi untuk melaksanakan sikap-sikap yang menjadi tuntutan utama dari setiap empat tauhid tersebut.
Kehidupan paling tenang adalah kehidupan yang bersandar terus kecintaannya kepada Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu kita harus mampu membedakan di antara cinta kepada Allah dengan cinta kepada selainNya serta menjadikan cinta kepada Allah mengatasi segala-galanya. Apa yang menjadi tuntutan kepada kita ialah kita menyadari pentingnya melandasi seluruh aktivitas hidup dengan kecintaan kepada Allah, Rasul, dan jihad secara minhaji.
Di dalam memahami dan mengenal Allah ini, kita seharusnya memahami bahwa Allah sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Ilmu-ilmu yang Allah berikan itu menerusi dua jalan yang membentuk dua fungsi yaitu sebagai pedoman hidup dan juga sebagai sarana hidup. Kita juga sepatutnya menyadari kepentingan kedua bentuk ilmu Allah dalam pengabdian kepada Allah untuk mencapai tahap takwa yang lebih cemerlang.

B.  PERAN MA’RIFATULLAH
".Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (Q.S. Az-Zumar:9).
Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu komunitas terletak pada kualitas ma'rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka. Kesempurnaan tersebut tidak mungkin terealisasi secara utuh tanpa didukung kualitas pengetahuan yang tinggi.
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan. Pesan Islam tentang pentingnya peningkatan intelektual dan keilmuan akan banyak kita dapati di berbagai rujukan tradisional yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, hadis yang berbunyi,: "Tafakur sesaat lebih utama dibanding ibadah tiga puluh tahun.". Sedemikian tinggi nilai ma'rifat di mata Islam, sehingga ia dikategorikan sebagai paling mulianya ibadah, yang jika dibandingkan dengan ibadah sekian puluh tahun lamanya dan tanpa didasari ilmu dan ma'rifat, maka ia jauh lebih baik dari pada ibadah tersebut. Allah swt dalam al-Quran menjelaskan bahwa salah satu fungsi diutusnya rasul adalah untuk meningkatkan kualitas keilmuan dan pola fikir manusia, " ..dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah .." (Q.S. Jum'ah : 2).
Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur dari tingkat ma'rifat si pelakunya. Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya dengan pengetahuan atau ma'rifat, perbuatannya itu tidak bernilai sama sekali.
Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu tindakan ditentukan sesuai dengan derajat ma'rifat pelakunya. Semakin tinggi derajat ma'rifat seseorang, semakin tinggi pula kualitas perbuatannya, meskipun perbuatan itu secara lahiriah nampak remeh, sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat "Tidurnya orang alim adalah ibadah." Di sisi lain, penekanan Islam dalam pengutamaan kualitas ibadah dibanding kuantitasnya sangat mencolok, seperti yang kita amati dari ayat 2 surat Al-Mulk: "... supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya... "
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt lebih menekankan amal yang terbaik, bukan yang terbanyak. Jelas bahwa amal terbaik adalah amal yang dilandasi dengan ma'rifat.
Imam Abu Ja'far a.s. bersabda, "Wahai anakku! Ketahuilah bahwasanya derajat syiah (pengikut) kita akan sesuai dengan kadar ma'rifat mereka karena aku pernah melihat di dalam "Kitab Ali" (Mushaf Ali) tertulis bahwa nilai kesempurnaan seseorang ditentukan oleh kadar ma'rifat-nya" (Ma'ani al-Akhbar). Tentu saja, riwayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat yang mengatakan, ". Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu ." (Q.S. Al-Hujurat :13) karena kalau ditelusuri lebih dalam lagi kita akan ketahui bahwa ketakwaan diperoleh berkat amal saleh dan amal saleh sendiri tidak akan lahir kecuali dari sumber keimanan, sedangkan keimanan ini mustahil dicapai tanpa landasannya, yaitu ma'rifat.
Ringkasnya, ketakwaan tidak mungkin didapati kecuali dengan ilmu dan ma'rifat. Di samping itu, kemuliaan manusia yang dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber ketakwaannya tersebut; yaitu ma'rifat. Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu dan ma'rifat, sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt dalam hadis qudsi berikut ini: "Aku ibarat harta yang terpendam, maka Aku senang untuk diketahui. Oleh karena itu, Kuciptakan makhluk agar diriku diketahui" (Bihar al-Anwar).
Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya manusia yang memiliki berbagai potensi, adalah untuk ber-ma'rifat kepada Allah yang merupakan tujuan utama penciptaan. Imam Ja'far Shadiq a.s. dengan menukil riwayat dari kakek beliau, Imam Ali Zaenal Abidin a.s. menafsirkan kata "al-Ibadah" yang tercantum dalam ayat "Tidaklah Kucipta-kan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku" (Q.S Al-hujarat : 13), bersabda, "Wahai para manusia! Sesung-guhnya Allah swt tidak menciptakan hamba-hamba-Nya kecuali untuk mengenal (ber-ma'rifat) kepada-Nya" (Biharul Anwar).
Jelas, dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma'rifat. Namun, jika kita lihat hubungan keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana mungkin kita akan beribadah kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa sudah mengenal Zat Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk kesempurnaan jiwa kita, sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita tahu bahwa kesempurnaan jiwa mustahil dicapai tanpa ibadah.
Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah pertamanya dengan ucapan, "Awal agama adalah mengenal-Nya." Maka, awal yang harus diraih seorang hamba dalam ber-ma'rifat adalah pengetahuan tentang penciptanya yang melahirkan suatu keyakinan. Ia tidak akan mencapai suatu keyakinan tanpa pengetahuan.
Lawan ma'rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan seseorang tanpa landasan argumen. Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai ilmu. Ia sama sekali tidak akan meniscayakan keyakinan. Sehubungan dengan ma'rifatullah dalam pandangan Islam, khususnya mazhab Ahlul Bayt, setiap manusia harus meyakini keberadaan Allah swt dengan berbagai konsekuensi ketuhanan-Nya, karena keyakinan tidak mungkin muncul tanpa landasan ilmu dan argumen. Oleh karena itu, Islam melarang taqlid dalam masalah ini. Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma'rifat dan mengenal Zat Allah SWT haqqu ma'rifatih (secara utuh dan sempurna), sebagaimana yang dibuktikan oleh akal. Karena, bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (makhluk) dapat mengetahui dan menjangkau zat yang tidak terbatas (al-Khaliq) dari berbagai sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai makhluk yang paling sempurna pernah bersabda dalam penggalan munajatnya, "Wahai Tu-hanku, diriku takkan pernah mengetahui-Mu sebagaimana mestinya."
Hal ini tidak berarti kita bebas dari kewajiban mengenalnya, Imam Ali a.s. pernah menegaskan, "Allah swt tidak menyingkapkan hakikat sifat-Nya kepada akal, kendati Dia pun tidak menggugurkan kewajibannya untuk mengenal diri-Nya" (Nahjul Balaghah). Setiap ilmu dan ma'rifat, khususnya ma'rifatullah, yang dimiliki oleh setiap individu ataupun suatu komunitas sangat berpengaruh pada perilaku moral dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kita bisa bandingkan mereka yang meyakini pandangan dunia Ilahi dengan mereka yang menganut pandangan dunia materialis. Kelompok kedua ini menganggap bahwa kehidupan manusia tidak memiliki kepastian dan kejelasan tujuan yang harus ditempuh, anggapan yang
bermuara dari keyakinan bahwa kebermulaan alam ini dari shudfah (kebetulan), sehingga mereka melihat bahwa kematian merupakan titik akhir dari kehidupan dan manusia menjadi tiada hanya dengan kematian. Kematian itu akan menghadang setiap orang tanpa pandang bulu, zalim maupun adil, berbudi luhur maupun tercela.
Maka, ketika anggapan-anggapan tersebut menjadi dasar pengetahuan, sekaligus menjadi dasar keyakinan, mereka hidup sebagai hedonis yang selalu berlomba untuk mencari segala bentuk kenikmatan duniawi dan menganggapnya sebagai kesempurnaan sejati yang harus dicari oleh setiap orang, sebelum ajal mencengkeram mereka. Menurut mereka, tidak ada sesuatu yang lebih sakral dibanding kenikmatan hidup ini, dan nilai-nilai moral seseorang akan terus berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai atributnya, sehingga standar etika mereka adalah segala hal yang berkaitan dengan prinsip materialisme dan hedonisme.
Berbeda dengan pandangan agama samawi, khususnya Islam. Bertolak dari prinsip tauhid muncullah keyakinan-keyakinan, seperti adanya tujuan-tujuan pasti yang tak pernah sia-sia di balik penciptaan alam semesta ini, termasuk penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah SWT, "Apakah engkau menyangka bahwa telah kami ciptakan dirimu (manusia) dengan kesia-siaan, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?" (Q.S. Al-Mu'minun : 115)
Oleh karena itu, kematian menurut mereka bukanlah akhir dari kehidupan. Sebaliknya, ia lebih merupakan gerbang awal dari kehidupan abadi. Maka, suatu keniscayaan bagi Allah swt Zat yang Maha adil dan Maha tahu akan setiap gerak perilaku makhluk-Nya, untuk menjadikan suatu alam selain alam dunia ini sebagai tempat pertanggung-jawaban atas setiap perbuatan manusia selama masa hidupnya di dunia. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hanya Allah swt satu-satunya Zat yang Mutlak dari berbagai sifat kesempurnaan, sehingga jika kita dapati kebaikan dan keindahan di alam fana ini, maka itu merupakan bentuk manifestasi penjelmaan) kebaikan dan keindahan-Nya. Yang dimaksud dengan "manusia sempurna" adalah suatu derajat di mana manusia telah mampu mencapai bentuk penjelmaan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, sekaligus berhasil menjauhkan diri dari berbagai sifat yang harus dijauhkan dari sifat-sifat Allah swt. Hal inilah yang selalu dianjurkan oleh Rasul dalam sabda beliau: "Berakhlaklah dengan akhlak Allah." Dalam konteks ibadah sehari-hari, kita selalu dianjurkan berniat untuk taqarrub, yaitu mendekatkan diri kepada-Nya. Taqarub di sini mengisyaratkan pada tasyabbuh (penyerupaan diri dengan sifat-sifatNya).
Semakin bertambah kualitas dan kuantitas manisfestasi sifat-sifat kesempurnaan Ilahi dalam
diri asyiq (seorang pecinta Tuhan), niscaya ia semakin dekat dengan ma'syuq-nya (kekasih), begitu pula sebaliknya. Jika manifestasi itu minim dan pudar, atau bahkan tidak ada sama sekali, ia akan selalu jauh dari penciptanya.
Berbicara tentang penyerupaan sudah menjadi hal yang wajar bagi seseorang mencintai sesuatu. Ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang mengingatkan dirinya kepada kekasihnya seperti; meniru gaya hidup, mencintai apa yang dicintai kekasihnya dan seterusnya. Begitu juga jika ia membenci sesuatu, maka ia selalu berusaha untuk melupakan dan menjauhkan diri dari apa yang ia benci. Demikian pula yang dialami oleh pecinta Ilahi.
Perlu ditekankan bahwa jauh-dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya bukan berupa jarak materi, tapi merupakan tingkat manifestasi sifat-sifat Ilahi pada diri hamba tersebut, karena kesempurnaan Ilahi tidak teratas, sementara manusia diliputi oleh berbagai macam keterbatasan. Oleh sebab itu, perjalanan untuk liqa' (bertemu) dengan Allah swt pun tidak berbatas.
Untuk sampai dan bertemu dengan Tuhannya, para salik akan melalui banyak rintangan, berupa hijab (tabir-tabir penghalang) yang harus ia singkirkan untuk sampai pada tujuan yang dia rindukan. itu semua perlu usaha optimal, baik berupa pengetahuan yang bersifat teoritis ataupun aplikatif nyata. Karena, tanpa pengetahuan yang maksimal, suluk seorang hamba tidak akan bisa terwujud. Bekal ilmu seorang salik yang terbatas akan menjauhkan diri dari tujuannya. Imam Shadiq a.s. bersabda, "Seorang pelaku perbuatan tanpa landasan pengetahuan ibarat berjalan di luar jalur yang akan ditempuh. Semakin cepat ia bergerak, tidak akan menambah (cepat sampai tujuan), akan tetapi malah semakin menjauh (dari tujuan)." (Ushul al-Kafi)
Kegagalan perjalanan seorang hamba dalam mencapai tujuannya disebabkan oleh bekal pengetahuan yang tidak cukup, karena pengetahuan yang minim menyebabkan kerancuan memilah baik dari buruk, keyakinan yang benar dari yang salah, juga niat yang tulus dari yang tercemar oleh syirik atau bisikan setan; memperdaya dan menipu dengan berbagai angan dan khayalan, sehingga menerjang apa yang harus dihindari dan meninggalkan apa yang harus dilakukan. Maka, bagaimana mungkin seorang hamba yang rindu bertemu dengan kekasih sejatinya dan mendapatkan keridhoan-Nya, sementara ia menempuh jalan yang tidak diridhai, bahkan dibenci oleh sang kekasih.
Seperti yang telah kita ketahui ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah. Ilmu tidak akan memberi manfaat apapun bila tidak diamalkan. Allah swt berfirman dalam surat Al-Jatsiah ayat 23, "Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya." Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu tidak menjamin orang untuk mendapatkan hidayah (petunjuk). Sedangkan penyesatan yang dilakukan oleh Allah swt terhadap orang yang berilmu tadi, hanya karena ketaatan mereka kepada hawa nafsu dan ketidaksesuaian amal mereka dengan pengetahuannya.
Allamah Thabatha'i r.a. dalam tafsir al-Mizan dalam mengomentari ayat di atas menjelaskan bahwa pertemuan ilmu --tentang jalan yang harus ditempuh-- dengan kesesatan bukan suatu kemustahilan. Bukankah Allah swt berfirman, "Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka sungguh meyakini kebenarannya" (an-Naml:14).
Tidak ada konsekuensi antara ilmu dan hidayah atau antara kejahilan dan kesesatan. Akan tetapi, petunjuk (hidayah) merupakan penjelmaan ilmu di mana si empunya (alim) selalu komitmen dengan ilmunya, namun jika tidak, maka kesesatan akan menimpanya walaupun ia berilmu.
Dalam kehidupannya, terkadang manusia melupakan apa yang disebut dengan maslahat universal yang harus ia raih, sehingga ia lebih mengedepankan maslahat semu di depan matanya dibanding maslahat jangka panjang yang hakiki. Dalam meraih hal semu tersebut tak jarang ia menggunakan dengan cara-cara yang bertentangan dengan perintah Allah dan lebih mengikuti hawa nafsunya, "Terangkan kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya." (Q.S. Al-furqan : 43). Oleh karena itu, dalam menuju kesempurnaan abadi dan maslahat hakiki, selain diperlukannya ma'rifat sebagai pondasinya, juga tarbiyah yang dalam bahasa al-Quran disebut tazkiyah (penyucian diri) sebagai salah satu fungsi
diutusnya rasul, ".Yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkannya .." (Q.S. Al-jum'ah : 2). Tazkiyah inilah sebagai pilar utama dari tegaknya bangunan kesempurnaan jiwa manusia.


C. PENTINGNYA MENGENAL ALLAH
1.        Seseorang yang mengenal Allah pasti akan tahu tujuan hidupnya (QS Az-Zariyat:56) “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu” dan tidak tertipu oleh dunia.
2.        Ma’rifatullah merupakan ilmu yang tertinggi yang harus difahami manusia (QS Al-An’am:122). Hakikat ilmu adalah memberikan keyakinan kepada yang mendalaminya. Ma’rifatullah adalah ilmu yang tertinggi sebab jika difahami memberikan keyakinan mendalam. Memahami Ma’rifatullah juga akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan kepada cahaya hidayah yang terang.
3.        Berilmu dengan ma’rifatullah sangat penting karena:
·      Berhubungan dengan obyeknya, yaitu Allah Sang Pencipta.
·      Berhubungan dengan manfaat yang diperoleh, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, yang dengannya akan diperoleh keberuntungan dan kemenangan.

D. AHAMMIYAH MA’RIFATULLAH (URGENSI MEMPELAJARINYA)
Riwayat ada menyatakan bahwa perkara pertama yang mesti dilaksanakan dalam agama adalah mengenal Allah (awwaluddin ma’rifatullah). Bermula dengan mengenal Allah, maka kita akan mengenali diri kita sendiri. Siapakah kita, di manakah kedudukan kita berbanding makhluk-makhluk yang lain? Apakah sama misi hidup kita dengan binatang-binatang yang ada di bumi ini? Apakah tanggung jawab kita dan ke manakah kesudahan hidup kita? Semua persoalan itu akan terjawab secara tepat setelah kita mengenali betul Allah sebagai Rabb dan Ilah, Yang Mencipta, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan.
Dalil-dalil:
QS. Muhammad (47): 19
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”
Ayat ini mengarahkan kepada kita dengan kalimat “ketahuilah olehmu” bahwasanya tidak ada ilah selain Allah dan minta ampunlah untuk dosamu dan untuk mukminin dan mukminat. Apabila Al-Qur’an menggunakan sibghah amar (perintah), maka menjadi wajib menyambut perintah tersebut. Dalam konteks ini, mengetahui atau mengenali Allah (ma’rifatullah) adalah wajib.
QS. Ali Imran (3): 18
“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan melainkan Dia, dan telah mengakui pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu sedang Allah berdiri dengan keadilan. Tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.
QS. Al-Hajj (22): 72-73
“Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah, “Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?” Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.”
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.”
QS. Az-Zumar (39): 67
“Mereka tidak mentaqdirkan Allah dengan ukuran yang sebenarnya sedangkan keseluruhan bumi berada di dalam genggamanNya pada Hari Kiamat dan langit-langit dilipatkan dengan kananNya. Maha Suci Dia dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan.”
QS. Al-An'am (6): 19
“Katakanlah, “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah, “Allah.” Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qu’ran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?” Katakanlah, “Aku tidak mengakui.” Katakanlah, “Sesungguhnya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).”
QS. Ali Imran (3): 190
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
QS. Al-A'raf (7): 172
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan).”

E.  JALAN MENGENAL ALLAH
1.      Lewat akal:
a.    Ayat Kauniyah / ayat Allah di alam ini:
- Fenomena terjadinya alam (Q.S At-Tur: 35)
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)”
- Fenomena kehendak yang tinggi (Q.S Al-Mulk:3)
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu melihat sesuatu tidak seimbang?”
- Fenomena kehidupan (Q.S An Nur:45)
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan diatas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendakiNya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
- Fenomena petunjuk dan ilham (Q.S Ta Ha:50)
“Musa berkata ‘Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberiakn kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberikannya petunjuk.”
- Fenomena pengabulan doa (Q.S Al-An’am:63)
“Katakanlah ‘Siapakah ang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, yang kmau berdo’a kepadaNya denga berendah diri dengan suara lembut (dengan mengatakan) “sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami mwnjadi orang yang bersyukur.”
b.      Ayat Qur’aniyah / ayat Allah di dalam Al-Qur’an:
- Keindahan Al-Qur’ an (Al-Baqarah:23)
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad) buatlah satu surah saja semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
- Pemberitahuan tentang umat yang lampau (Q.S At-Taubah:70)
“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang sebelum mereka, yaitu kaum Nuh, ‘Ad. Samud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan (penduduk) negeri-negeri yang telah di musnahkan? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diir mereka sendiri.”
- Pemberitahuan tentang kejadian yang akan datang (Q.S An-Nur: 55)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dibumi, sebagaimana Dia menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dian akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah di ridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetpa menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
2.      Lewat memahami Asma’ul Husna:
- Allah sebagai Al-Khaliq (Q.S Al-Mu’minun:62)
“Yang demikian itu adalah Allah, Tuhanmu, pencipta segala sesuatu, tiada Tuhan melainkan Dia, maka bagaimanakah kamu dapat dipalingkan? “
- Allah sebagai pemberi rizqi (Q.S Fatir:3)
“Hai manusia, ingatkah nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapatmemberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada tuhan selain Dia, maka mengapa kamu berpaling (dari ketauhidan)?”
- Allah sebagai pemilik (Q.S Al-Baqarah:284)
“Kepunyaan Allah lah segala apa yang dilangit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang didalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendakiNya dan menyiksa siapa yang dikehendakiNya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”


F.  HAL-HAL YANG MENGHALANGI MA’RIFATULLAH
1.        Kesombongan (QS Al-A’raf:146)
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi ini, tanpa alasan yang benar, dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Jika mereka melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak eriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan membawa petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai darinya.”
(Q.S Al-Furqan : 21)
“berktalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami, “mengapa tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” sesungguhnya merea memandang besar tentang diri mereka dan mereka telah benar-benar melampaui batas dalam (melakukan) kedzaliman.”
2.        Dzalim (QS An-Nisa:153)
“Ahli kitab memnita kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar daripada itu, Mereka berkata, “perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata.” Maka mereka disambar petir karena kezaliman dan mereka menyembah anak sapi sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata, lalu Kami maafkan (mereka) dari yang demikian. Dan kami telah berikan kepada Musa keterangan yang nyata.”
3.        Bersandar pada panca indera (QS Al-Baqarah:55).
“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “ Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang,” karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya”.
4.        Dusta (QS Al-A’raf:176)
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya, diulurkan lidahnya, dan jika kmu memmbiarkannya, dia mengulurkan lidahnya (juga). Dengan itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.”
5.        Membatalkan janji dengan Allah (QS Al-Baqarah: 27)
“(yaitu) orang-ornag yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubunkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka iulah orang-orang yang merugi.”

6.        Berbuat kerusakan/Fasad
7.        Lalai (QS Al-Anbiya:1-3)
“Telah dekat kepada manusia ahri menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (darinya) (1). Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main (2). (lagi) hati merekadalam keadaan lalai (3).”
8.        Banyak berbuat maksiat
9.        Ragu-ragu (QS Al-An’am:109-110)
“Mereka bersumpah dengan nama Allah, dengan segala kesungguhan bahwa sungguh jika datang kepada merek suatu mukjizat, pastilah mereka beriman kepadaNya. Katakanlah, “sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu hanya berada disisi Allah.” Dan adakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mukjizat datang mereka tidak akan beriman (109). Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan yang sangat (110).”
Semua sifat diatas merupakan bibit-bibit kekafiran kepada Allah yang harus dibersihkan dari hati. Sebab kekafiranlah yang menyebabkan Allah mengunci mati, menutup mata dan telinga manusia serta menyiksa mereka di neraka. (QS Al-Baqarah:6-7)
“Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman (6). Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat (7).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar